Sunday, March 30, 2014

REBORN

Setelah sekian lama membengkalaikan blog ini, tak disangka tak dinyana masih ada blognya*lol.
Aniway, sebenarnya sudah lama dengung suara suara di belakang kepala memerintahkan untuk menulis. "Every great people have a diary, well most likely", walaupun.... I don't think I am a great person, dreaming being one  wouldn't hurt anyone... I guess.


Akhirnya hari ini, diputuskan menjadi hari besar untuk REBORN. Hari dimana tulisan tulisan seorang Rilla kembali terlahir. What the hell these writing going to be? The answer should comes up after we see what kind of nurturing process will I perform. Writing is a process, life is a process, I strongly believe in process. Hidup proses!!

Wednesday, May 16, 2007

blobuloids

orang orang kecil
warna oranye, merah dan kuning
bersendawa keras jika kenyang
menangis pilu jika lapar

ia akan tertidur lelap
setelah segelas bir ditenggak

aku benciiii...
tidak pernah masuk hall of fame

Tuesday, May 08, 2007

Monday, May 07, 2007

Puisi - Puisi hihi

Puisi hihi 1

betribetribet
singpusingpusing
tresetresetres

Astaga!!

Lambungku nyeri

Puisi hihi 2

letsiletsilet
jamtajamtajam
tihatihati
yatsayatsayat

Yaiksss!!

Hatiku terluka

Wednesday, April 18, 2007

Tarian Paus



Sudah lama ia heran ketika setiap malam
telinganya selalu mendengar rintih pilu seekor paus

Lalu pada satu pagi saat hendak berkumur ia saksikan
makhluk itu terdampar di selasela karang giginya
"Siapakah engkau dan mengapa ada di sini?" tanyanya terkejut sambil menatap cermin
"Aku terhanyut arus bawah sadarmu yang sedang pasang," jawab hewan itu
sambil berusaha membebaskan diri, "kembalikan aku ke zamanku."

Maka malam harinya ia kembali melakukan ritual
yang dikaisnya dari kenangan masa kecil:
menciptakan anakanak sungai di tenggorokan
lewat secangkir susu hangat
yang diyakininya akan membentuk tujuh samudera
di seantero lambungnya

Di pucuk mimpinya malam itu ia lihat sang paus
menari gembira, berenang menjauhinya.
"Akan kulindungi Yunus dalam kehangatan perutku
seperti kau jaga Moby Dick di benakmu."

By Akmal N basral
what a beautifull work

Tuesday, April 17, 2007

The Dance Of The Whale

Been so long he got fascinate since every night

he always hears the wail of a whale

Then in one morning, when he is about to gargle he witness

the thing marooned between his tartar

“Who are you and why are you here?” he asks surprisedly while looking into the mirror

“I am drowned by your unconsciousness,” answer the animal

while trying to set free, “Please return me to my time.”

Then at night again he does a ritual

that he pawed from childhood memories:

creating little river in his throat

from a cup of warm milk

that he believes will perform seven oceans

in his stomach

At the peak of his dream that night he sees

the whale is dancing happily, swimming further from him,

“I will protect Jonah in the warmth of my tummy

like you take care of Moby Dick in your mind.”


Translated by Rilla

from a beautifull work by Akmal N Basral "Tarian Paus"

Monday, April 16, 2007

april 16th 2007

hari ini bosen berat... pusing baca-baca tulisan di milis anak berbakat. milis itu kurang mutu banget deh. isinya kebanyakan hanya orang tua yang mencari legitimasi baru atas pelabelan anak-anaknya. ada yang anknya telat bicara tapi pingin dilabelin gifted. ada yang anaknya autis tapi pingin punya label gifted. duh pusing.

kupikir yang terbaik adalah face it and cope it, lying and denying wouldn' make things better. yang ada, bisa jadi salah treatment and malah jadi menyesal seumur hidup. astagfirullah... semoga tidak terjadi yang seperti itu.. sungguh mengerikan jika orang tua salah mengasuh anak... (yang dimaksud adalah mistreated).

ada seorang teman yang anaknya didagnosa ber IQ dibawah rata-rata... walau mereka (suami istri) sudah tahu mengenai keadaan anaknya (secara ada hasil analisa tertulis oleh psikolog), namun mereka tidak mau mengakui keadaan anaknya tersebut, akhirnya mereka tetap mentreat anak mereka seperti layaknya anak-anak yang ber IQ rata-rata. jadilah si anak kewalahan, kehilangan self esteem, dan akhirnya bergantung sepenuhnya pada si ortu. pun pola pendidikan yang diberikan si orang tua tidak konsisten. si anak diberikan beban yang sama dengan anak-anak berdaya tangkap normal,namun jika si anak tidak mampu menyelesaikan tugasnya, maka si orang tua akan membantu (biasanya tidak disertai dengan kesabaran untuk mengajarkan anak ketrampilan tertentu, melainkan karena si orang tua merasa kurang sabar menghadapi proses belajar si anak yang tentunya relatif lebih panjang daripada saudara-saudaranya yang memiliki IQ rata-rata).

pola asuh seperti ini sangat tidak baik, karena pada akhirnya si anak jadi terus tergantung pada orang tua. tidka bisa berpergian sendiri, tidak punya lingkungan pergaulan yang sesuai dengan usianya. tidak bisa bekerja dan tidak memiliki ketrampilan khusus. bisa di bayangkan jika suatu saat kedua orang tuanya tiada, pada siapa ia akan bergantung???

semoga hal ini tidak akan terjadi pada kita.

S E N D I R I

S

e

n

d

i

r

i

,

ti

da

kb

er

du

a.

S

e

n

d

i

r

i

,

tid

akb

ert

iga

.

S

e

n

d

i

r

i

,

tidakbersama-sama.

S

e

n

d

i

r

i

,

ti da k

be r t em an.

S

e

n

d

i

r

i

bahagia???????????

tidak.....tidak...

S

e

n

d

i

r

i

h a n y a

s

e

n

d

i

r

i

.

Sajak Banjir

Waktu hari mulai petang.

Banjir datang membandang.

Rumahku, rumahmu kena tendang.

Bila ku meradang,

pada dia yang dipandang.

Percuma, air sudah bertandang.

Kalau besok ingin selamat

Jangan hanya kata tersemat

Mari kita melumat

Mereka yang diamanat

Ah… bait diatas tak juga

bantu redakan lara

kalau moral lepas dari raga

maka rakyat kan tetap sengsara

Rilla

Feb, 9th 2007

Aku punya segenggam cinta,

Ku ulurkan kepadamu.

Adakah arti pandangan sendu itu?

Jangan......jangan pandangi aku seperti itu,

Aku hanya butuh satu kata.

Genggamanku melemah,

Kurasakan aliran absurd di sela jemariku

Selamat tinggal.

Kau yang terakhir,

Dan torehkan madu di tubuhku.

Untukku?

Sayang.........sayang........

Rilla, July 18th 2001

Big

An acting analysis

Drama Studies II

Amarilla

2000410093

Josh is a twelve years old boy that grow big in one night, because Zoltar (the game in a carnival) grant his wish to be big. While Josh wanted to be big, just because he wanted to play a huge roller coaster, to impress a girl named Cynthia. Even Josh has appearance and voice of thirty years old man (which is Josh consider as the way he looks when he is thirty) but the fact in the movie that Josh turn into a thirty years old man appearance in one night only, indicate that Josh is actually still a twelve years old boy. The way of Josh thinking, the feeling, and the movements still belong to a twelve years old Josh.

In this movie, Tom Hanks, who suppose to act, as twelve years old boy that trapped in a body of thirty years old man, do not play his part in a good way. I may say that Hanks failed in becoming a twelve years old boy. Some of the parts do not seem real and inconsistence with the real 12 years old boy acting (little Josh when he has not changed into a big man).

We can see this inconsistence since the beginning of the movie, for instance the way of Josh sitting, at the beginning of the movie. Little Josh have a natural way of sitting of a twelve years old boy who is not bossy, not too famous in school, in short an ordinary twelve years old boy, that loved, and well cared by his family. But when Josh already become a big man, the big man sits like a sissy. At the beginning of the movie, little Josh like to talk with himself as if he is a sport commentator in TV, while doing things, but later (when he turns big) there’s not a single act that shows this habit of Josh.

The next thing that I consider inconsistence is in Mr. Hank’s own acting. At the beginning of big Josh part, Josh speech is still tolerable as a confused and surprised twelve years old boy. But in some parts of the movie, big Josh seems too childish for a twelve years old boy. A twelve years old boy, that already have interest to a certain girl, would not play war (and make him looks totally silly) in a toy store with someone that he just met there, like an eight or nine years old boy. In addition, at the beginning of the movie, Josh indicated as a shy boy that cannot reply a greeting from a girl. I think a shy twelve years old boy would not play war in an open public toy store, as if he is doing it in his own back yard.

In the middle of the movie, big Josh met a woman. At the first time he did not showed any sexual interest to the woman. Even when one of the employee in the office where Josh work, pointed another woman that is famous in that office because she is willing to have sex with everybody, big Josh said that he should stay far from the woman. This speech indicates that Josh, as twelve years old boy has not really pay attentions in sex matters. But later, Josh finally have sex with a woman named Susan, with almost no reason at all (Susan do not really seducing her to do that, so it seems that Josh is already understand and has sexual interest to Susan). the most interesting things in this case is, it seems that there is nothing wrong with Josh after having sex with Susan. In fact, he does it more than once with Susan. The longest total time of Josh being a big person is about two months. This development in twelve years old boy is too fast.

In short, this kind of interpretations did by Mr. Hank, which makes me consider that he failed in becoming a twelve years-old-boy in this movie.

Dicari!!!

Dicari!!!

Orang Dewasa Dengan Ketulusan Hati

sebuah essay tentang konsep dasar pendidikan budi pekerti



Semua anak dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup, mencintai dan untuk dapat mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan mereka, demi perlindungan diri mereka.

(Alice Miller. The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 166)

Budi pekerti selama ini menjadi sebuah jargon yang batasannya hanyalah berupa teori yang ternyata tidak konsisten dalam realitasnya.

(Alli Rama Gnerohanamis[1])

Pendidikan Budi pekerti idealnya adalah sebuah program pendidikan yang mengajak anak untuk menjadikan sikap sehari-hari sebagai cerminan hati. Sikap sebagai cerminan hati disini maksudnya adalah sikap yang keluar adalah merupakan gambaran jujur atas apa yang dirasakan oleh seseorang. Sikap toleransi pun merupakan sikap yang idealnya muncul dari perasaan empati atau simpati seseorang terhadap orang lain, daripada hanya sekedar sikap yang dituntut oleh elemen masyarakat di sekitar seseorang seperti keluarga atau guru. Untuk mencapai sikap yang merupakan cerminan hati ini, maka kejujuran dan ketulusan hati semua elemen masyarakat yang terkait, dalam hal ini orangtua dan pendidik, mutlak diperlukan.

Dalam bukunya “The Drama of the Gifted Child” Anne Miller juga menulis:

“Demi perkembangan jiwa mereka, anak-anak memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang dewasa yang akan menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka dan secara jujur membantu mereka untuk berorientasi kepada dunia”.[2]

Rasa Cinta

Seperti yang diungkapkan oleh Alice Miller, anak-anak membutuhkan bantuan dan dorongan yang tulus dari manusia dewasa untuk menyiapkannya menghadapi dunia. Rasa cinta yang tulus adalah salah satu elemen terpenting, dimana anak harus mengalami proses perkenalan pada konsep yang absurd ini dengan merasakannya sendiri. Sayangnya pada kenyataannya seringkali para orangtua dan gurupun merupakan anak-anak yang tumbuh sebagai dewasa yang tidak pernah mempunyai pengalaman dicintai dengan tulus oleh manusia dewasa dalam proses belajarnya. Sehingga mereka pun akan mendidik anak-anak mereka dengan konsep cinta yang mereka ketahui, yaitu cinta dan kasih sayang membutuhkan imbalan.

Semua orang tua dan guru pasti akan menyatakan bahwa mereka mencintai anak atau anak didik mereka dengan tulus. Setelah menyebuttkan hal tersebut biasanya mereka akan menceritakan alasan atau bukti-bukti kecintaan mereka seperti: “tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya sendiri” (orangtua) atau “untuk apa ibu teriak-teriak ngajarin anak orang kalau ibu tidak sayang, mana anaknya badung-badung.” (guru) atau “kalau tidak sayang ibu tidak akan sabar menghadapi kelakuan kamu”, “ibu marah karena sayang, kalau ibu tidak sayang, ibu biarin aja kamu nakal terus, ibu biarin aja kamu naik-naik pohon terus biar jatuh”, ungkapan-ungkapan (yang menurut saya sadis) ini seringkali kita dengar dan dianggap sangat wajar dalam kehidupan sehari-hari. Saya menganggap ungkapan-ung kapan di atas sadis, karena jawaban-jawaban seperti itu mengesankan bahwa rasa cinta adalah sesuatu yang tidak istimewa, bahkan ada indikasi paksaan, atau membutuhkan imbalan.

Ungkapan-ungkapan seperti ini akan membangun pemahaman pada anak, bahwa rasa sayang atau cinta membutuhkan imbalan. Seperti misalnya, jika sang anak berlaku manis, duduk diam di dalam kelas, maka si anak tersebut akan mendapatkan rasa sayang dari gurunya. Begitu juga jika si anak bersikap penurut dan patuh, tidak menangis atau merajuk, maka ia akan memnangkan cinta ibunya.

Seorang anak dapat merasakan impuls[3] perasaan lingkungan sekitarnya, ia dapat mengetahui dengan cepat tindakan-tindakan seperti apa saja yang diinginkan orangtua atau gurunya. Dengan kemampuan merasakan impuls yang dimilikinya, maka si anak telah membangun pemahaman bahwa ia harus berlaku dan bahkan memiliki pereasaan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tua atau gurunya untuk mendapatkan kasih sayang mereka. Demi untuk dapat memenuhi keinginan orang dewasa di sekitarnya, maka si anak akan merepresi[4] atau menekan perasaan dan keinginannya yang sesungguhnya. Anak tersebut akan menekannya hingga ia tak berani untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya secara jujur dan akhirnya mekanisme pertahanan (defense mechanism)[5] si anak akan mengubur jati dirinya ke wilayah tak sadar (unconscious) untuk selamanya. Adapun perasaan-perasaan seperti rasa marah, iri, benci, menuntut, yang harus di repress oleh anak tersebut, akan keluar dalam bentuk yang lain yang cenderung destruktif. Seperti menyakiti orang lain atau dirinya sendiri.

Penguburan jati diri ini akan membuat si anak membangun sebuah konsep cinta yang jelas batasannya (ketimbang konsep cinta tulus yang absurd dan hanya dapat dipahami dengan merasakanya). Seperti misalnya ia harus terus berprestasi untuk dapat dicintai, ia akan kehilangan kepercayaan diri bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan yang istimewa, dan pantas dicintai walaupun tidak berprestasi. Hasrat berprestasi yang besandarkan pada konsep kasih sayang yang salah ini akan membuat penderitanya merasa putus asa dan cenderung destruktif, baik terhadap diri sendiri (mis: pecandu obat bius, alkohol, bunuh diri) maupun orang lain (mis: membunuh, merampok, dsb), jika mereka mengalami kegagalan atau merasa pencapaian diri mereka tidak maksimal.

Dengan tumbuh membawa konsep cinta yang salah ini si anak kelak akan mewariskan konsep cinta yang sama kepada anak-anak atau anak didik mereka, serta akan mengulang perlakuan orang dewasa yang ia terima ketika ia masih anak-anak. Satu-satunya cara untuk mencegah terbangunnya konsep cinta yang salah ini adalah dengan ketulusan dan kejujuran hati. Orang dewasa sebaiknya tidak menyimpan perasaan menginginkan imbalan berupa tingkah laku yang manis ataupun harapan-harapan yang membebani si anak.

Hormati perasaan anak.

Slamet Imam Santoso, seorang pendiri Fakultas Psikologi Indonesia, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan yang sangat dasar dan elementer adalah :

1. mengembangkan semua bakat dan kemampuan seseorang, baik yang masih anak maupun yang sudah dewasa, sehingga perkembangannya mencapai tingkat yang optimal.

2. meningkatkan bangsa Indonesia pada tempat terhormat dalam pergaulan antar bangsa sedunia. [6]

Slamet I.S juga menyebutkan lima sifat yang harus dipenuhi oleh seorang individu agar dapat bertahan dalam masyarakat dengan terhormat, lima sifat tersebut yaitu: pandai, jujur, berdisiplin, tahu kemampuan dan mengenal batas kemampuan sendiri dengan demikian individu akan memiliki rasa kehormatan sendiri.[7] Slamet I.S mengerucutkan pendapatnya pada “memiliki rasa kehormatan sendiri”.

Saya memandang hal ini sebagai kunci utama dari seseorang yang ingin bertahan hidup di masyarakatnya, dengan berbagai kerumitan hidup yang pasti akan dihadapi manusia. Namun rasa kehormatan sendiri ini tidak bisa tumbuh begutu saja, ia harus di bentuk dan di bina dalam prosesnya. Disinilah peran orangtua dan pendidik menjadi sangat penting dan krusial.

Untuk menumbuhkan rasa kehormatan diri ini, maka anak perlu mendapatkan pengalaman merasa dihormati dan nantinya menghormati, baik orang lain maupun diri sendiri. Kita sebagai orang dewasa yang mendidik, yang pada teorinya seharusnya lebih berpengalaman daripada sang anak harus memberikan pengalaman belajar yang sesuai kepada anak

Ketika kita mendidik anak untuk berempati dan saling menghormati dan menghormati diri sendiri, maka sebagai pendidik kita pun harus melakukan hal yang sama seperti yang kita harapkan untuk dilakukan anak-anak didik kita. Biasanya dalam pelajran seperti ini guru akan memberikan contoh-contoh melalui kisah atau cerita pendek, lalu meminta anak untuk menanggapi cerita tersebut sesuai dengan yang kita inginkan. Seperti contohnya:

“Guru bercerita: Pada suatu hari Amin sedang berjalan kaki sepulang dari sekolahnya. Lalu di tengah jalan ada seorang ibu yang berteriak minta tolong karena ternyata tasnya di jambret. Kira-kira apa yang akan Amin lakukan anak-anak?” tanya sang guru. Anak-anak secara berbarengan menjawab ada yang menjawab “mengejar malingnya bu”, “ menelepon polisi”, “memanggil bala bantuan” dan sebagainya. Namun ada seorang anak, sebut saja B, yang menjawab “dibiarkan saja bu”. Mendengar jawaban anak ini, sang ibu guru segera meminta anak-anak didiknya untuk diam, dan meminta B untuk mengulangi jawabannya. “Coba anak-anak dengarkan jawaban B”. Lalu setelah B mengulangi jawabannya yang diiringi gelak tawa teman-temannya, sang guru pun ikut tersenyum dan segera menjadikan jawaban B sebagai contoh jawaban yang salah.

Mungkin bagi si guru, dengan B menjadi bahan tertawaan atas jawabannya, maka si anak tersebut akan mengerti bahwa tindakan yang di sebut si anak tidaklah tepat. Namun disisi lain si guru telah tidak menghormati jawaban dan bahkan menghina si anak dengan secara tak langsung meminta teman-temannya untuk mentertawakan jawaban anak tersebut. Penghinaan ini menunjukkan bahwa si guru sudah tidak menghormati jawaban yang merupakan cerminan dari apa yang dirasakan oleh si anak. Anak ini, B, memberikan jawaban demikian karena sering mendengar orang tuanya bercerita tentang tindakan kriminal yang sering terjadi akhir-akhir ini. Orang tuanya seringkali menyebutkan bahwa polisi seringkali tidak membantu orang yang sedang kesusahan. Polisi seringkali menarik bayaran dari korban kasus-kasus kriminal. Selain itu kasusnya pun tidak selesai. Sesungguhnya jawaban anak ini sangat realistis. Kenyataannya hal tersebut (seperti yang diceritakan siguru), dalam realitanya, banyak orang dewasa (apalagi anak kecil) yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Perlakuan-perlakuan oleh guru seperti yang diceritakan di atas, seringkali terjadi di masyarakat kita. Bahkan perlakuan seperti ini dianggap wajar dan didukung dengan dalih sebagai pendidikan bagi si anak.

Secara psikologis hal yang telah dilakukan sang guru ini berarti telah menghancurkan integritas diri[8] si anak. Tindakan si guru yang menyakiti (menghina) dan dengan bahkan tidak memberikan kesempatan kepada B untuk menjelaskan mengapa ia memilih jawaban tersebut, telah menghancurkan kepercayaan diri si anak. Si anak tadinya percaya bahwa jawabannya dapat diterima sebagai sebuah kemungkinan (tindakan) yang akan diambil tokoh Amin dalam cerita si guru, karena si anak merasa jawabannya sudah sesuai dengan realita yang selama ini di dengarnya (atau bahkan mungkin dialaminya sendiri). Dengan sikap yang ditunjukkan si guru, B dan teman-teman di kelasnya secara otomatis akan membangun sebuah sikap yang mengizinkan mereka untuk mencaci dan mentertawakan tindakan atau sikap orang lain yang dianggap tidak seragam atau tidak sesuai dengan yang diinginkan kaum yang berkuasa (dalam hal ini si guru). Selain itu mereka juga akan membangun mekanisme pertahanan (defence mechanism) yang merepresi perasaan-perasaan mereka yang mereka anggap tidak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa. Akhirnya anak-anak ini akan tumbuh sebagai manusia-manusia yang tidak bisa jujur atas perasaan dan pendapatnya, dan nantinya akan mendidik anak-anak mereka dengan cara yang sama.

Demikianlah essay ini saya tulis untuk mengajak kita semua untuk bercermin. Apakah kita sudah jujur pada diri kita sendiri? Apakah kita merupakan korban dari konsep rasa sayang yang salah? Jika kita mau bersikap jujur dan bertahan ketika mengingat peristiwa menyakitkan ketika kita kecil, dan mengingatnya secara sadar agar tidak kita ulangi kepada anak-anak kita kelak, maka lingkaran setan kehilangan jati diri akan dapat diputus. Jika semua orang dapat jujur kepada dirinya sendiri dan dapat mencintai dengan tulus, maka kita akan memperoleh anak-anak bangsa yang: (izinkan saya mengutip Alice Miller sekali lagi)

…tidak akan paham mengapa generasi pendahulunya merasa perlu membangun idustri militer raksasa demi merasa aman dan nyaman di dunia ini. Karena mereka tidak merasakan kebutuhan untuk menepiskan pengalaman terintimidasi di masa kecil, maka mereka akan dapat mengatasi upaya-upaya intimidasi dari orang lain terhadap mereka secara lebih rasional dan lebih kreatif.

(Alice Miller. The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 169)


[1] Alli Rama Gnerohanamis adalah nama pena dari Amarilla

[2] Alice Miller, The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 2005

[3] Impuls; dorongan/hasrat

[4] Represi; adalah kerja mental dimana impuls-impuls internal yang dianggap tidak sesuai akan ditekan atau di buang ke wilayah tak sadar.

[5] Mekanisme Pertahanan atau Defense mechanism adalah proses mental dimana seseorang akan melindungi dirinya dari perasaan sakit (secara mental, seperti terhina atau kesedihan). Mekanisme pertahanan ini bekerja dengan cara menyangkal, memalsukan atau mengacaukan kesadaran terhadap realita yang sesungguhnya.

[6] Slamet Imam Santoso dalam Dr. Soemiarti Patmonodewo, pada makalah “pendidikan nilai pada anak” seminar psychology expo 2005

[7] Slamet Imam Santoso dalam Dr. Soemiarti Patmonodewo, pada makalah “pendidikan nilai pada anak” seminar psychology expo 2005

[8] Integritas diri; keutuhan diri seseorang, keyakinan seseorang terhadap dirinya sendiri





Bibliographies

Miller, Alice The Drama of the Gifted Child. Drama Anak-anak Kita. Trans. Nikmah Sarjono. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.

Patmonodewo, Soemiarti Pendidikan Nilai Pada Anak. Makalah seminar untuk Psychology Expo 2005.