Dicari!!!
Orang Dewasa Dengan Ketulusan Hati
sebuah essay tentang konsep dasar pendidikan budi pekerti
Semua anak dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup, mencintai dan untuk dapat mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan mereka, demi perlindungan diri mereka.
(Alice Miller. The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 166)
Budi pekerti selama ini menjadi sebuah jargon yang batasannya hanyalah berupa teori yang ternyata tidak konsisten dalam realitasnya.
(Alli Rama Gnerohanamis[1])
Pendidikan Budi pekerti idealnya adalah sebuah program pendidikan yang mengajak anak untuk menjadikan sikap sehari-hari sebagai cerminan hati. Sikap sebagai cerminan hati disini maksudnya adalah sikap yang keluar adalah merupakan gambaran jujur atas apa yang dirasakan oleh seseorang. Sikap toleransi pun merupakan sikap yang idealnya muncul dari perasaan empati atau simpati seseorang terhadap orang lain, daripada hanya sekedar sikap yang dituntut oleh elemen masyarakat di sekitar seseorang seperti keluarga atau guru. Untuk mencapai sikap yang merupakan cerminan hati ini, maka kejujuran dan ketulusan hati semua elemen masyarakat yang terkait, dalam hal ini orangtua dan pendidik, mutlak diperlukan.
Dalam bukunya “The Drama of the Gifted Child” Anne Miller juga menulis:
“Demi perkembangan jiwa mereka, anak-anak memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang dewasa yang akan menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka dan secara jujur membantu mereka untuk berorientasi kepada dunia”.[2]
Rasa Cinta
Seperti yang diungkapkan oleh Alice Miller, anak-anak membutuhkan bantuan dan dorongan yang tulus dari manusia dewasa untuk menyiapkannya menghadapi dunia. Rasa cinta yang tulus adalah salah satu elemen terpenting, dimana anak harus mengalami proses perkenalan pada konsep yang absurd ini dengan merasakannya sendiri. Sayangnya pada kenyataannya seringkali para orangtua dan gurupun merupakan anak-anak yang tumbuh sebagai dewasa yang tidak pernah mempunyai pengalaman dicintai dengan tulus oleh manusia dewasa dalam proses belajarnya. Sehingga mereka pun akan mendidik anak-anak mereka dengan konsep cinta yang mereka ketahui, yaitu cinta dan kasih sayang membutuhkan imbalan.
Semua orang tua dan guru pasti akan menyatakan bahwa mereka mencintai anak atau anak didik mereka dengan tulus. Setelah menyebuttkan hal tersebut biasanya mereka akan menceritakan alasan atau bukti-bukti kecintaan mereka seperti: “tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya sendiri” (orangtua) atau “untuk apa ibu teriak-teriak ngajarin anak orang kalau ibu tidak sayang, mana anaknya badung-badung.” (guru) atau “kalau tidak sayang ibu tidak akan sabar menghadapi kelakuan kamu”, “ibu marah karena sayang, kalau ibu tidak sayang, ibu biarin aja kamu nakal terus, ibu biarin aja kamu naik-naik pohon terus biar jatuh”, ungkapan-ungkapan (yang menurut saya sadis) ini seringkali kita dengar dan dianggap sangat wajar dalam kehidupan sehari-hari. Saya menganggap ungkapan-ung kapan di atas sadis, karena jawaban-jawaban seperti itu mengesankan bahwa rasa cinta adalah sesuatu yang tidak istimewa, bahkan ada indikasi paksaan, atau membutuhkan imbalan.
Ungkapan-ungkapan seperti ini akan membangun pemahaman pada anak, bahwa rasa sayang atau cinta membutuhkan imbalan. Seperti misalnya, jika sang anak berlaku manis, duduk diam di dalam kelas, maka si anak tersebut akan mendapatkan rasa sayang dari gurunya. Begitu juga jika si anak bersikap penurut dan patuh, tidak menangis atau merajuk, maka ia akan memnangkan cinta ibunya.
Seorang anak dapat merasakan impuls[3] perasaan lingkungan sekitarnya, ia dapat mengetahui dengan cepat tindakan-tindakan seperti apa saja yang diinginkan orangtua atau gurunya. Dengan kemampuan merasakan impuls yang dimilikinya, maka si anak telah membangun pemahaman bahwa ia harus berlaku dan bahkan memiliki pereasaan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tua atau gurunya untuk mendapatkan kasih sayang mereka. Demi untuk dapat memenuhi keinginan orang dewasa di sekitarnya, maka si anak akan merepresi[4] atau menekan perasaan dan keinginannya yang sesungguhnya. Anak tersebut akan menekannya hingga ia tak berani untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya secara jujur dan akhirnya mekanisme pertahanan (defense mechanism)[5] si anak akan mengubur jati dirinya ke wilayah tak sadar (unconscious) untuk selamanya. Adapun perasaan-perasaan seperti rasa marah, iri, benci, menuntut, yang harus di repress oleh anak tersebut, akan keluar dalam bentuk yang lain yang cenderung destruktif. Seperti menyakiti orang lain atau dirinya sendiri.
Penguburan jati diri ini akan membuat si anak membangun sebuah konsep cinta yang jelas batasannya (ketimbang konsep cinta tulus yang absurd dan hanya dapat dipahami dengan merasakanya). Seperti misalnya ia harus terus berprestasi untuk dapat dicintai, ia akan kehilangan kepercayaan diri bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan yang istimewa, dan pantas dicintai walaupun tidak berprestasi. Hasrat berprestasi yang besandarkan pada konsep kasih sayang yang salah ini akan membuat penderitanya merasa putus asa dan cenderung destruktif, baik terhadap diri sendiri (mis: pecandu obat bius, alkohol, bunuh diri) maupun orang lain (mis: membunuh, merampok, dsb), jika mereka mengalami kegagalan atau merasa pencapaian diri mereka tidak maksimal.
Dengan tumbuh membawa konsep cinta yang salah ini si anak kelak akan mewariskan konsep cinta yang sama kepada anak-anak atau anak didik mereka, serta akan mengulang perlakuan orang dewasa yang ia terima ketika ia masih anak-anak. Satu-satunya cara untuk mencegah terbangunnya konsep cinta yang salah ini adalah dengan ketulusan dan kejujuran hati. Orang dewasa sebaiknya tidak menyimpan perasaan menginginkan imbalan berupa tingkah laku yang manis ataupun harapan-harapan yang membebani si anak.
Hormati perasaan anak.
Slamet Imam Santoso, seorang pendiri Fakultas Psikologi
1. mengembangkan semua bakat dan kemampuan seseorang, baik yang masih anak maupun yang sudah dewasa, sehingga perkembangannya mencapai tingkat yang optimal.
2. meningkatkan bangsa
Slamet I.S juga menyebutkan
Saya memandang hal ini sebagai kunci utama dari seseorang yang ingin bertahan hidup di masyarakatnya, dengan berbagai kerumitan hidup yang pasti akan dihadapi manusia. Namun rasa kehormatan sendiri ini tidak bisa tumbuh begutu saja, ia harus di bentuk dan di bina dalam prosesnya. Disinilah peran orangtua dan pendidik menjadi sangat penting dan krusial.
Untuk menumbuhkan rasa kehormatan diri ini, maka anak perlu mendapatkan pengalaman merasa dihormati dan nantinya menghormati, baik orang lain maupun diri sendiri. Kita sebagai orang dewasa yang mendidik, yang pada teorinya seharusnya lebih berpengalaman daripada sang anak harus memberikan pengalaman belajar yang sesuai kepada anak
Ketika kita mendidik anak untuk berempati dan saling menghormati dan menghormati diri sendiri, maka sebagai pendidik kita pun harus melakukan hal yang sama seperti yang kita harapkan untuk dilakukan anak-anak didik kita. Biasanya dalam pelajran seperti ini guru akan memberikan contoh-contoh melalui kisah atau cerita pendek, lalu meminta anak untuk menanggapi cerita tersebut sesuai dengan yang kita inginkan. Seperti contohnya:
“Guru bercerita: Pada suatu hari Amin sedang berjalan kaki sepulang dari sekolahnya. Lalu di tengah jalan ada seorang ibu yang berteriak minta tolong karena ternyata tasnya di jambret. Kira-kira apa yang akan Amin lakukan anak-anak?” tanya sang guru. Anak-anak secara berbarengan menjawab ada yang menjawab “mengejar malingnya bu”, “ menelepon polisi”, “memanggil bala bantuan” dan sebagainya. Namun ada seorang anak, sebut saja B, yang menjawab “dibiarkan saja bu”. Mendengar jawaban anak ini, sang ibu guru segera meminta anak-anak didiknya untuk diam, dan meminta B untuk mengulangi jawabannya. “Coba anak-anak dengarkan jawaban B”. Lalu setelah B mengulangi jawabannya yang diiringi gelak tawa teman-temannya, sang guru pun ikut tersenyum dan segera menjadikan jawaban B sebagai contoh jawaban yang salah.
Mungkin bagi si guru, dengan B menjadi bahan tertawaan atas jawabannya, maka si anak tersebut akan mengerti bahwa tindakan yang di sebut si anak tidaklah tepat. Namun disisi lain si guru telah tidak menghormati jawaban dan bahkan menghina si anak dengan secara tak langsung meminta teman-temannya untuk mentertawakan jawaban anak tersebut. Penghinaan ini menunjukkan bahwa si guru sudah tidak menghormati jawaban yang merupakan cerminan dari apa yang dirasakan oleh si anak. Anak ini, B, memberikan jawaban demikian karena sering mendengar orang tuanya bercerita tentang tindakan kriminal yang sering terjadi akhir-akhir ini. Orang tuanya seringkali menyebutkan bahwa polisi seringkali tidak membantu orang yang sedang kesusahan. Polisi seringkali menarik bayaran dari korban kasus-kasus kriminal. Selain itu kasusnya pun tidak selesai. Sesungguhnya jawaban anak ini sangat realistis. Kenyataannya hal tersebut (seperti yang diceritakan siguru), dalam realitanya, banyak orang dewasa (apalagi anak kecil) yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Perlakuan-perlakuan oleh guru seperti yang diceritakan di atas, seringkali terjadi di masyarakat kita. Bahkan perlakuan seperti ini dianggap wajar dan didukung dengan dalih sebagai pendidikan bagi si anak.
Secara psikologis hal yang telah dilakukan sang guru ini berarti telah menghancurkan integritas diri[8] si anak. Tindakan si guru yang menyakiti (menghina) dan dengan bahkan tidak memberikan kesempatan kepada B untuk menjelaskan mengapa ia memilih jawaban tersebut, telah menghancurkan kepercayaan diri si anak. Si anak tadinya percaya bahwa jawabannya dapat diterima sebagai sebuah kemungkinan (tindakan) yang akan diambil tokoh Amin dalam cerita si guru, karena si anak merasa jawabannya sudah sesuai dengan realita yang selama ini di dengarnya (atau bahkan mungkin dialaminya sendiri). Dengan sikap yang ditunjukkan si guru, B dan teman-teman di kelasnya secara otomatis akan membangun sebuah sikap yang mengizinkan mereka untuk mencaci dan mentertawakan tindakan atau sikap orang lain yang dianggap tidak seragam atau tidak sesuai dengan yang diinginkan kaum yang berkuasa (dalam hal ini si guru). Selain itu mereka juga akan membangun mekanisme pertahanan (defence mechanism) yang merepresi perasaan-perasaan mereka yang mereka anggap tidak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa. Akhirnya anak-anak ini akan tumbuh sebagai manusia-manusia yang tidak bisa jujur atas perasaan dan pendapatnya, dan nantinya akan mendidik anak-anak mereka dengan cara yang sama.
Demikianlah essay ini saya tulis untuk mengajak kita semua untuk bercermin. Apakah kita sudah jujur pada diri kita sendiri? Apakah kita merupakan korban dari konsep rasa sayang yang salah? Jika kita mau bersikap jujur dan bertahan ketika mengingat peristiwa menyakitkan ketika kita kecil, dan mengingatnya secara sadar agar tidak kita ulangi kepada anak-anak kita kelak, maka lingkaran setan kehilangan jati diri akan dapat diputus. Jika semua orang dapat jujur kepada dirinya sendiri dan dapat mencintai dengan tulus, maka kita akan memperoleh anak-anak bangsa yang: (izinkan saya mengutip Alice Miller sekali lagi)
…tidak akan paham mengapa generasi pendahulunya merasa perlu membangun idustri militer raksasa demi merasa aman dan nyaman di dunia ini. Karena mereka tidak merasakan kebutuhan untuk menepiskan pengalaman terintimidasi di masa kecil, maka mereka akan dapat mengatasi upaya-upaya intimidasi dari orang lain terhadap mereka secara lebih rasional dan lebih kreatif.
(Alice Miller. The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 169)
[1] Alli Rama Gnerohanamis adalah nama pena dari Amarilla
[2] Alice Miller, The Drama Of the Gifted Child,Indonesian Ed. 2005
[3] Impuls; dorongan/hasrat
[4] Represi; adalah kerja mental dimana impuls-impuls internal yang dianggap tidak sesuai akan ditekan atau di buang ke wilayah tak sadar.
[5] Mekanisme Pertahanan atau Defense mechanism adalah proses mental dimana seseorang akan melindungi dirinya dari perasaan sakit (secara mental, seperti terhina atau kesedihan). Mekanisme pertahanan ini bekerja dengan cara menyangkal, memalsukan atau mengacaukan kesadaran terhadap realita yang sesungguhnya.
[6] Slamet Imam Santoso dalam Dr. Soemiarti Patmonodewo, pada makalah “pendidikan nilai pada anak” seminar psychology expo 2005
[7] Slamet Imam Santoso dalam Dr. Soemiarti Patmonodewo, pada makalah “pendidikan nilai pada anak” seminar psychology expo 2005
[8] Integritas diri; keutuhan diri seseorang, keyakinan seseorang terhadap dirinya sendiri
Bibliographies
Miller, Alice The Drama of the Gifted Child. Drama Anak-anak Kita. Trans. Nikmah Sarjono.
Patmonodewo, Soemiarti Pendidikan Nilai Pada Anak. Makalah seminar untuk Psychology Expo 2005.
No comments:
Post a Comment